Sikap Abu Bakar As-Siddiq Mengenai Isra’ Mi’raj
Muhammad
berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari
dari Masjidil haram ke Masjidil aqsa dan bahwa ia bersembahyang di sana.
Oleh orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada sebagian
yang sudah Islam pun merasa ragu. Tidak sedikit orang yang berkata ketika
itu: Soalnya sudah jelas. Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang
terus-menerus pun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana
mungkin hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Mekah!
Tidak
sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik murtad, dan tidak
sedikit pula yang masih merasa sangsi. Mereka pergi menemui Abu bakar,
karena mereka mengetahui keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad.
Mereka menceritakan apa yang telah dikatakannya kepada mereka itu
mengenai Isra. Terkejut mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakar
berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu bakar lagi, "tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu
Bakar lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan
keadaan Baitulmukadas. Abu bakar sudah pernah mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu bakar berkata: "Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu bakar dengan "as-Siddlq". (Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu bakar (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj.)
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu bakar berkata: "Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu bakar dengan "as-Siddlq". (Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu bakar (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj.)
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu bakar juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu bakar ini memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah memperkuat kedudukan Islam?
Kalau
dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula
ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang
sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih
besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus. Kata-kata Abu bakar
itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang
benar ini. Katakata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan
dan dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh
kekuatan Hamzah dan Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan apabila
di dalam seja-
rah Islam Abu bakar mempunyai tempat tersendiri sehingga Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu bakar-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita."
rah Islam Abu bakar mempunyai tempat tersendiri sehingga Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu bakar-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita."
Kata-kata
Abu bakar mengenai Isra itu menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu
dan risalah, yang tidak dapat ditangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah
pula Allah telah memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala Rasulullah memilih
seorang teman dekatnya saat ia dipilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya
untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Itulah pula bukti
yang kuat, bahwa kata yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertanam
kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit, dengan jejak yang abadi sepanjang
zaman, dengan karunia Allah. Ia tak akan dikalahkan oleh waktu, tak akan
dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar